Bukittinggi - Pola Tanggung jawab pihak Bank tidak hanya semata-mata dengan persyaratan kredit yang telah disepakati didepan, tapi harus melakukan edukasi dengan debitur saat menghadapi masalah.
Salah satu polanya yakni bagaimana pihak Bank bisa melakukan fungsinya dengan baik dalam bentuk pengawasan, pembinaan, dan mencarikan solusi terhadap debitur pada saat menghadapi berbagai permasalahan.
Sebagai saksi Ahli Hukum dari Universitas Andalas Padang, Prof. Dr. Busyra Azheri SH. MH, memaparkan, dalam persidangan perdata antara Hoirun Niza dengan PT. Bank Perkreditan Rakyat Rangkiang Aur Denai, Bukittinggi di Pengadilan Negeri Bukittinggi dengan nomor perkara : 44/PDT.G/2021/PNBkt, Kamis, (21/04)
Dijelaskan, Busyra Azheri dihadapan Majelis Hakim PN Bukittinggi, Penggugat dan Tergugat bahwa, intinya adalah kreditur pada saat memberikan kredit kepada debitur harus bertanggung jawab bagaimana caranya uang yang telah dicairkan kepada debitur kembali.
Menariknya, pada saat masalah itu muncul disaat debitur mengalami masalah dimasa pandemi Covid-19. Berarti penyebab utama debitur tidak mampu melaksanakan kewajiban berdasarkan faktor condition of economic yang disebabkan oleh wabah yang mendunia.
Lebih lanjut dikatakannya, seharusnya pihak Bank musti melakukan penyelamatan bagaimana debitur bisa beraktivitas kembali bukan 'menjudge' debitur telah melakukan wanprestasi. Saya melihat, problem dasarnya Bank tidak melaksanakan kewajibannya kepada debitur walaupun debitur tidak mampu lagi membayar kewajibannya, tapi bukan berarti itu 100% kesalahan si debitur.
"Padahal sama-sama kita ketahui, sebelumnya Pemerintah menginstruksikan kepada seluruh lembaga keuangan untuk membuat kebijakan atau relaksasi kredit kepada debitur yang bermasalah saat masa pandemi Covid-19, " tukasnya.
Salah satu bentuk relaksasi kredit yang harus diselamatkan diantaranya, reconditioning, restructuring, recontioning utang. Sekarang harus kita lihat dari apa kebutuhan dari si debitur, apakah dia harus membayar bunganya saja, atau membayar utang pokoknya sajakah, tidak dibebankan biaya administrasi atau kapan perlu menambah kreditnya agar usahanya jalan. Bank tidak boleh langsung menjudge atau mengupayakan eksekusi.
Saksi Ahli Hukum Busyra menerangkan, selain itu yang menariknya juga, ternyata pihak Bank mengasuransikan kredit debitur kepada asuransi yang tujuannya mengambil alih resiko apabila terjadi sesuatu diluar dugaan, seperti debitur meninggal dunia.
Seharusnya pihak Bank melakukan penyelesaian permasalahan kredit itu tidak hanya kepada ahli waris debitur yang sudah meninggal dunia saja tapi kepada pihak asuransi juga.
"Apalagi, jika dilihat dari sejak awal akad hingga akhir hayatnya, debitur memiliki track record yang bagus dalam menjalankan kewajibannya, sayang pihak Bank tidak melihat secara utuh, " jelasnya
Namun demikian, apabila setelah melalui analisis yang panjang dan debitur dinyatakan macet tentu pihak Bank dapat menyelesaikan kredit ini dengan baik. Ada dua jenis eksekusi yang bisa dilakukan oleh pihak Bank, yaitu eksekusi sukarela dan eksekusi paksa.
Contohnya eksekusi sukarela dengan cara dengan memberikan kesempatan kepada debitur untuk menjual asetnya sendiri, itu sesuai dengan undang-undang hak tanggungan agar mendapatkan dapat harga jual dengan harga pasar.
Hal ini dilakukan agar nilai aset yang akan dijual jauh lebih tinggi ketimbang nilai jual pada saat lelang melalui KPKNL. Sementara untuk eksekusi paksa tentu dapat dilakukan salah satunya melalui proses dan putusan pengadilan yang mengikat.
Sementara itu, Pengacara PT. Bank Perkreditan Rakyat Rangkiang Aur Denai Bukittinggi Tedjakusuma, menjelaskan, semua pernyataan Saksi Ahli itu tidak berpihak.
"Kami melihat semua pernyataan Profesor itu sudah seharusnya seorang ahli berbicara, seperti yang beliau sampaikan tentang Nilai kesopanan dan kesusilaan dari kesepakatan antara pihak Bank dan nasabah, " terangnya.
Menurut Tedja, bagaimana cara negosiasi atau membuka diri antara pihak Bank dengan nasabah kemudian pihak Bank mempunyai kewajiban mencarikan solusi debitur ketika debitur memiliki masalah saat penyelesaian utang.
"Semua pernyataan beliau dalam sisi normatif bukan pragmatis. Netral tidak berpihak. Sekalipun saya selaku Kuasa Tergugat, " kata Tedja.
Dalam wawancara bersama awak media Tedja menambahkan, tapi kalau pertanyaan dari masing-masing pihak, apakah Penggugat atau Tergugat menanyakan tentang begini atau begitu, tentu harus perlu dibuktikan lagi.
"Sepanjang kepentingan klien tentu saya harus membela kepentingan klien, tapi saya tidak boleh mengikuti maunya klien namun tetap mengutamakan prinsip keadilan, " pungkasnya.(Linda).